Sabtu, 07 Februari 2009

Evaluasi Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Pendekatan Regresi Logistik

Regresi Logistik
Regresi logistik adalah statistik multivariat yang dapat digunakan untuk mengestimasi kemungkinan perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lain. Variabel terikat (prediktan) dalam regresi logistik bersifat biner (ada atau tdk ada kejadian), dimana 1 = ada perubahan jenis penggunaan lahan dan 0 = tidak ada perubahan jenis penggunaan lahan yaitu untuk rentang waktu tertentu.Dalam penelitian ini, misalnya 1 = ada perubahan ”Hutan” dan 0 = tidak ada perubahan ” Hutan”, untuk rentang waktu antara 1990-1996. Fungsi logistik yang memberikan nilai peluang adanya perubahan penggunaan lahan misalnya ”Hutan” dapat dirumuskan sebagai berikut:

Di mana p adalah peluang perubahan ”Hutan” dalam sel atau grid tertentu, E(Y) adalah nilai biner dari prediktan yang diharapkan,  adalah suatu konstanta estimasi, dan n adalah koefisien untuk tiap prediktor Xn. Fungsi logistik dapat ditransformasi hingga memiliki respon linier dan bentuk persamaannya adalah:

Kombinasi metode regresi logistik dan SCS guna mengestimasi limpasan permukaan untuk beberapa tahun ke depan telah dilakukan oleh Apria (2005). Lokasi kajian adalah DAS Ciliwung Hulu dan variabel bebas (prediktor) yang digunakan adalah jarak ke jalan (X1), jarak ke sungai (X2), jarak ke permukiman (X3), jarak suatu penggunaan lahan terhadap penggunaan lahan yang lain (X4), kepadatan penduduk (X5) dan pendapatan penduduk (X6). Alasan dipilihnya 6 prediktor tersebut terkait dengan peluang berubahnya suatu penggunaan lahan. Misalnya, kepadatan penduduk yang tinggi diperkirakan sebagai salah-satu pendorong adanya perubahan penggunaan lahan tertentu jadi penggunaan lahan lain. Prediktor lain yang juga mendorong hal tersebut adalah jarak ke jalan raya atau sungai besar, maksudnya semakin dekat dengan jalan raya dan sungai besar maka peluang perubahan penggunaan lahan juga semakin besar.

Pengujian Model dan Kalibrasi Peta Prediksi
Untuk menggunakan model logit (Persamaan 5.2) yang telah diperoleh maka model tersebut perlu diuji keabsahannya. Wrigley (1985, dalam Stolle, et al., 2003) menyatakan bahwa pseudo-R2 atau 2 dapat digunakan untuk menguji keabsahan model ini, dan bentuk persamaannya adalah:

dimana  adalah logaritma likelihood model dengan intersep dan kovarian seluruh variabel, dan c adalah logaritma likelihood model hanya dengan intersep. Nilai 2 yang baik (good fit) terletak antara nilai 0,2 – 0,4.

Hasil akhir dari analisis perubahan penggunaan lahan menggunakan model logit yang telah diuji keabsahanya adalah berupa peta prediksi. Untuk melihat ketelitian peta prediksi yang dihasilkan dari model logit tersebut maka peta prediksi perlu dikalibrasi dengan peta realnya. Peta prediksi yang layak digunakan adalah yang memiliki tingkat ketelitian 80%, maksudnya informasi yang dikandung dalam peta tersebut adalah 80% sesuai dengan peta real.

Model Perubahan Penggunaan/Penutup Lahan
Jenis penggunaan/penutup lahan DAS Ciliwung Hulu lebih-kurang ada 8 jenis, namun dalam kajian perubahan penggunaan lahan ini, Apria (2005) melakukan pengelompokkan ulang jadi 3 yaitu hutan, vegetasi dan lahan terbangun. Jumlah persamaan peluang perubahan dari 3 jenis penggunaan lahan tersebut ada 9, namun yang dapat digunakan hanya 5 persamaan dengan nilai R2 antara 0.2-0.5 (Tabel 1). Persamaan regresi logistik tersebut dibangun dari data spasial penggunaan lahan Ciliwung Hulu tahun 1990 dan 1996. Berdasarkan persamaan yang telah diperoleh tersebut dihasilkan peta prediksi penggunaan lahan 1996, dan 2010. Kalibrasi antara peta penggunaan lahan tahun 1996 prediksi dan real menunjukan persentase kesesuaian 70%, artinya model tersebut dapat digunakan untuk proyeksi ke depan.

Tabel 1. Model Regresi Logistik Untuk Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan (Sumber: Apria, 2005)

Atas dasar persamaan regresi logistik yang telah dikalibrasi tersebut maka disusunlah peta prediksi penggunaan lahan 2010 (Gambar 1). Luas lahan hutan DAS Ciliwung Hulu pada tahun 2010 diperkirakan hanya tingga 60.2 ha (0.4%) sedangkan pada tahun 1990 lua hutannya masih 5283.7 ha; sedangkan luas lahan terbangunnya akan meningkat 10 kali lipat (2257.9 ha pada tahun 2010). Akibat perubahan penggunaan lahan tersebut maka limpasan DAS Ciliwung Hulu akan berubah dengan sangat signifikan.

Gambar 1. Perubahan Penggunaan/Penutup Lahan DAS Ciliwung (1990, 1996 dan 2010) (Sumber: Apria, 2005)
Read More..

Senin, 02 Februari 2009

Sauprit tentang Pemanasan Global

Pemanasan Global.
Pemanasan global adalah meningkatnya suhu pemukaan bumi (dekat permukaan lahan dan muka laut) secara global, kisaran peningkatan suhu global tersebut adalah 0,6 ± 0,2°C (IPCC, 2001). Berdasarkan data pengukuran dan tertulis dalam laporan IPCC (2001), tahun 1990-an adalah dekade terhangat sedangkan tahun 1998 adalah tahun terhangat sejak 1861. Laporan IPCC (2007) lebih tegas (unequivocal) menyatakan bahwa pemanasan global adalah disebabkan oleh tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Peningkatan GRK tersebut sebagai akibat adanya aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi) dan perubahan penggunaan/penutup lahan.

Gas-gas rumah kaca utama (principal) yang menyebabkan terjadinya pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan halokarbon (sekelompok gas yang mengandung florin, klorin dan bromin). Gas-gas ini berakumulasi di atmosfer dan menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan konsentrasi dari tahun ke tahun. Peningkatan GRK terjadi sejak tahun 1750 dan terus meningkat hingga tahun 2005; dan peningkatan ini terkait dengan aktivitas manusia yang dimulai setelah revolusi industri (pertengahan tahun 1880) hingga sekarang ini. Bentuk-bentuk aktivitas manusia yang menyebabkan meningkatnya GRK adalah:

  • Penggunaan bahan bakar fosil (misal: batu bara dan minyak bumi) untuk transportasi, pemanas dan pendingin ruang, pembuatan semen dan barang produksi lain yang menyebabkan meningkatnya CO2 di atmosfer. Sebagai gambaran umum, pembakaran 1 lt bensin akan menghasilkan 2.4 kg CO2; 1 kg kayu menghasilkan 1.8 kg CO2; dan setiap kWh energi yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas atau minyak atau gas cair akan menghasilkan 0.28 kg CO 2.
  • Pembabatan hutan menyebabkab terlepasnya CO2 dan mereduksi jumlah CO2 yang diserap oleh tanaman. Karbon dioksida juga dilepas dalam proses-proses alami seperti pembusukan unsur-unsur tanaman. Dekomposisi sempurna biomassa 1 kg akan menghasilkan sekitar 1.85 kg CO2.
  • Kegiatan pertanian, distribusi gas alam dan penimbunan tanah/lahan akan meningkatkan produksi CH4. Metana juga dilepas dari proses-proses alami seperti halnya yang terjadi di wilayah lahan basah (Wetland).
  • Penggunaan pupuk dan pembakaran bahan bakar fosil akan me ngemisikan N2O, sedangkan proses alami di tanah dan laut juga akan melepas N2O.
  • Penggunaan lemari pendingin dan proses industri lain akan meningkatkan jumlah gas halokarbon (CFC-11, HFC-23, CF) di atmosfer, dan gas ini akan menyebabkan deplesi/penyusutan ozone (O3) di stratosfer.

GRK di atmosfer dianalogikan sebagai selimut yang menghalangi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh bumi ke atmosfer. Sebagian energi gelombang panjang tersebut akan diserap GRK – sehingga suhu atmosfer meningkat – dan ini akan meningkatkan kemampuan atmosfer untuk mengemisi radiasi gelombang panjang kembali ke bumi serta menghangatkan atau meningkatkan suhu muka bumi. Berdasarkan IPCC (2001 dan 2007) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan konsentrasi GRK tertinggi di atmosfer adalah CO2 (1,5 ppm/tahun) sedangkan yang terendah adalah N2O (0,8 ppb/tahun atau 0,0008 ppm/tahun). Pada tahun 2005, konsentrasi CO2 mencapai sekitar 379 ppm. Rata-rata tahunan laju peningkatan konsentrasi CO2 periode tahun 1995 – 2005 adalah 1.9 ppm/tahun sedangkan nilai rata-rata periode 1960 – 2005 adalah 1.4 ppm/tahun. Tingginya laju pertumbuhan karbon dioksida di atmosfer terkait dengan intensifnya penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan/penutup lahan terutama hutan menjadi penggunaan lahan lain. Laporan IPCC (2007) menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida fosil tahunan telah meningkat dari rata-rata 6,4 [6,0-6,8] GtC (23,5 [22,0-25,0] GtCO2) per tahun dalam tahun 1990-an menjadi 7,2 [6,9-7,5] GtC (26,4 [25,3-27,5] GtCO2) per tahun dalam tahun 2000-2005. Emisi karbon dioksida yang berhubungan dengan perubahan penggunaan/penutup lahan diestimasikan sebesar 1,6 [0,5-2.7] GtC (5,9 [1,8-9,9] GtCO2) per tahun dalam tahun 1990-an, meskipun estimasi ini mempunyai ketidakpastian yang tinggi.

Jika konsentrasi GRK di atmosfer diasumsikan tidak bertambah lagi hingga tahun 2100 maka iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama 5 hingga 200 tahun sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi GRK terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbon dioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri.
Read More..

Climate Change and Climate Variability - Perubahan Iklim dan Variabilitas Iklim

Perubahan Iklim
Pemanasan global dalam jangka panjang akan mempengaruhi sebagian atau seluruh sistem iklim bumi dan memacu terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim yang dimaksud di sini adalah adanya perubahan unsur-unsur iklim (seperti: radiasi surya, lama penyinaran surya, suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara, evaporasi/evapotranspirasi dan presipitasi) dalam jangka panjang (50-100 tahun) yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan pengertian tersebut maka variabilitas iklim musiman (musim hujan dan kemarau yang berubah mendadak), tahunan (musim kemarau atau hujan yang berubah periodesitasnya), dan dekadal (kejadian ekstrim seperti El Nino atau La Nina) adalah tidak termasuk dalam pengertian perubahan iklim. Namun, apabila dalam jangka yang lebih panjang variabilitasnya secara statistik terjadi perubahan yang konsisten, maka dapat dikatakan terjadi perubahan iklim.

Laporan IPCC (2007) menyatakan bahwa pada akhir abad ini bumi telah mengalami 2 kali periode penghangatan atmosfer yaitu pada tahun 1910-1940 (0,35oC) dan 1970-2006 (0,55oC). Pada periode penghangatan pertama faktor alami dan akibat aktivitas manusia terjadi secara bersamaan tapi pada periode penghangatan kedua maka faktor yang paling dominan adalah akibat aktivitas manusia (era industri). Penghangatan atmosfer karena peningkatan suhu udara akan mengakibatkan naiknya kandungan uap air di atmosfer (terutama pada lintang rendah). Uap air tersebut akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena adanya sirkulasi lautan dan atmosfer (atmospheric and oceanic circulation) sehingga pada suatu wilayah mendapatkan hujan berlebih tapi di tempat lain mengalami kekurangan hujan atau kekeringan sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut mengalami perubahan iklim terutama perubahan pola hujan. Berdasarkan data hujan observasi, kecenderungan hujan di muka bumi pada tahun 1900-2005 menunjukkan adanya pergeseran jumlah hujan (lebih basah/wetter atau kering/drier) dibeberapa lokasi. Amerika Selatan dan Amerika Utara bagian timur, Eropa bagian utara dan Asia bagian tengah dan utara mengalami peningkatan jumlah hujan atau lebih basah, tetapi Sahel, Afrika bagian selatan, Mediterania dan Asia bagian selatan menjadi lebih kering (IPCC, 2007). Di wilayah utara, presipitasi yang jatuh pada saat sekarang umumnya lebih banyak yang berbentuk air hujan daripada salju (IPCC, 2007).
Read More..

Jumat, 30 Januari 2009

Hidrologi Dasar-1

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut (TKPSDA, 2003). DAS di Indonesia jumlahnya ratusan dan telah dibagi menjadi 3 skala prioritas. Menurut Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 284 (1999), DAS prioritas I berjumlah 62 sedangkan prioritas II dan III berturut-turut berjumlah 232 dan 178 DAS. DAS prioritas I mengindikasikan bahwa DAS tersebut telah mengalami kekritisan lahan yang berat dan harus segera direhabilitasi, dan secara berjenjang tingkat penanganannya bergilir dari DAS prioritas II ke III. DAS dengan tingkat kekritisan lahan yang berat umumnya terkait dengan beban tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alam yang intensif dan berlebih sehingga terdapat indikasi bahwa kondisi DAS semakin menurun. Tanda atau indikasi adanya penurunan daya dukung DAS adalah adanya peningkatan kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan.

Untuk menanggulangi tingkat kekritisan DAS maka bentuk penanggulangannya harus terpadu yaitu mencakup komponen biotik dan abiotik. Dalam kajian saat ini, titik berat pembahasan pada komponen abiotik, khususnya pada aspek hidrologi. Menurut International Glossary of Hydrology (1974, dalam Seyhan, 1990) bahwa hidrologi adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredaran dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksi dengan lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup. Dalam kaitannya dengan pelatihan ini maka bagian hidrologi yang akan diurai adalah siklus dan proses hidrologi, teknik pengukuran dan pendugaan data hidrologi, dampak perubahan hujan dan penggunaan/penutup lahan terhadap debit sungai.

SIKLUS DAN PROSES HIDROLOGI
Kajian Siklus Hidrologi sangat bermanfaat dalam memahami konsep keseimbangan air dalam skala global hingga daerah aliran sungai (DAS) atau bahkan dalam skala lahan. Dalam sub bagian ini akan dijelaskan definisi dan ilustrasi dari siklus hidrologi, kemudian akan dilanjutkan hingga pembahasan proses yang terjadi selama siklus tersebut berlangsung. Tujuan dari kajian ini adalah memberikan pemahaman kualitatif dari proses hidrologi fisis yang terjadi pada sistem global hingga terutama DAS. Metode kuantitatif dan teknik matematik yang terkait dengan pengumpulan, penggunaan data yang benar dan interpretasi data klimatologi dan hidrologi akan dijelaskan lebih jauh pada sub bagian selanjutnya.

1. Siklus Hidrologi
Siklus Hidrologi adalah konsep dasar dalam kajian hidrologi dan merupakan konsep keseimbangan atau neraca air. Konsep ini mengenal empat fase perubahan zat cair, yaitu penguapan, pencairan, pembekuan, dan penyubliman atau dalam istilah hidrologi mencakup evaporasi dan transpirasi, presipitasi, salju, dan lelehan salju atau kristal es. Tenaga yang digunakan untuk berubah dari fase cair ke gas (evaporasi) dan menggerakkannya ke atmosfer adalah energi radiasi surya. Proses berikutnya adalah pendinginan, kondensasi dan presipitasi; selanjutnya akan diikuti oleh infiltrasi, limpasan permukaan, perkolasi dan kembali ke laut atau badan air yang lain. Proses sirkulasi dan perubahan fase zat cair tersebut dikenal sebagai Siklus Hidrologi (lihat Gambar 1).

Menurut Wiersum (1979, dalam Lieshout, tanpa tahun) selama siklus atau sub siklus hidrologi maka air akan mempengaruhi kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia ataupun biologi. Efek fisik akan terlihat selama proses gerakan air sehingga menimbulkan erosi pada bagian hulu dan sedimentasi pada bagian hilir. Efek kimia terlihat setelah proses kimiawi antara air yang mengandung bahan larutan tertentu dengan kimia batuan sehingga batuan tersebut terlapukkan, sedangkan efek biologi terutama sebagai media transport bagi perpindahan binatang karang serta media bagi pertumbuhan tanaman.

Analisis kuantitatif dari konsep siklus hidrologi dapat didekati dengan dua cara yang berbeda, yaitu sederhana dan komplek. Pendekatan sederhana berlandaskan pada persamaan kontinuitas dalam bentuk neraca air atau hidrologi (lihat Persamaan 1)

Inflow = Outflow ± Storage ............................... 1.

Persamaan 2.1. cenderung hanya memperhatikan aliran masuk dan keluar serta cadangan air tapi tidak memperhatikan proses yang terjadi di antara keduanya, sehingga dari pandangan konsep mekanistik maka pendekatan pertama kurang sempurna. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka pendekatan kedua yang lebih komplek layak untuk diperhitungkan. Pendekatan kuantitatif kedua dari siklus hidrologi adalah diawali dengan pengertian bahwa suatu siklus dibatasi oleh kondisi fisik tertentu seperti DAS atau sebidang lahan, dan di dalamnya menerima masukan (input), proses, dan keluaran (output). Masukan (input) mencakup presipitasi dengan berbagai bentuknya. Keluaran (output) mencakup dua keluaran utama yaitu evaporasi dan limpasan serta bocoran akifer, sedangkan proses meliputi berbagai transfer air yang terjadi dalam system siklus tersebut. Pendekatan kedua ini apabila dikaji lebih jauh bentuknya sama dengan pendekatan pertama yaitu neraca air atau hidrologi, namun prosedur perhitungannya lebih komplek (lihat Persamaan 2)

P – (Q + ET) ± L = S ............................... 2.


dimana:

P = presipitasi total
Q = total limpasan dan aliran sungai termasuk aliran air bumi
ET = total evaporasi dan transpirasi
L = bocoran (leakage) air yang keluar dari system atau bocoran air yang masuk ke dalam sistem
S = perubahan cadangan air dalam sistem dan dipertimbangkan setiap periode waktu tertentu

Metode untuk mengukur dan mengestimasi unsur-unsur yang terdapat dalam Persamaan 1 dan 2. akan dibincangkan lebih jauh dalam kajian atau analisis neraca air secara khusus, yaitu neraca air lahan, daerah aliran sungai dan global.

2. PROSES HIDROLOGI
Kajian proses hidrologi mencakup pembahasan sederetan unsur-unsur yang terdapat dalam siklus hidrologi. Secara garis besar dalam kajian ini proses hidrologi akan dipilah jadi dua, yaitu ketika masih ada di atmosfer dan setelah ada di daratan. Kajian pertama dimasukan dalam kajian air di atmosfer dan yang terangkum di dalamnya adalah evaporasi, transpirasi, kondensasi dan presipitasi; sedangkan kajian kedua adalah kajian air di atas dan bawah muka bumi yaitu meliputi intersepsi, infiltrasi, perkolasi, airbumi dan limpasan permukaan.

Kajian air di atmosfer dapat dilihat pada materi klimatologi sedangkan pada tulisan ini titik berat pembahasan pada air yang ada di atas dan bawah muka bumi. Air dari presipitasi yang jatuh di muka bumi dapat dipilah jadi 2 kelompok berdasarkan lokasi jatuhnya, yaitu vegetasi dan atau lahan terbangun (building area) serta tanah permukaan. Air presipitasi yang tertangkap/terintersepsi oleh vegetasi, sebagian akan menguap dan sebagian lain akan jatuh ke tanah permukaan melalui proses drip, stem flow, dan through fall. Air dari tetesan tajuk daun ataupun aliran batang tersebut akan masuk ke tanah permukaan (top soil) melalui proses infiltrasi bersama dengan air presipitasi yang jatuh langsung ke permukaan tanah. Tahap lanjutan setelah proses infiltrasi adalah perkolasi yaitu mengisi lapisan tanah jenuh (saturation zone) dan menambah cadangan airbumi (groundwater). Air hasil proses infiltrasi dan perkolasi akan bergerak menuju ke daerah yang tekanan hidroliknya rendah dan keluar sebagai mata-air di sungai, danau ataupun laut.

Apabila intensitas presipitasi tinggi sedangkan kapasitas maksimum infiltrasi telah terlampaui maka tahap selanjutnya adalah terbentuknya tegangan tipis dari air presipitasi di permukaan tanah (surface detention). Tegangan ini akan semakin menebal untuk kemudian mengalir secara laminar hingga turbulen di atas permukaan tanah yaitu menuju ke daerah yang topografinya lebih rendah. Gerakan air di atas permukaan tanah tersebut dikenal sebagai overland flow atau surface runoff. Air dari limpasan permukaan (surface runoff) akan bergerak atau mengalir menuju sungai (channel flow), kemudian dilanjutkan menuju laut. Air yang terdapat di badan air (sungai, danau ataupun laut), tanah dan vegetasi akan mengalami proses evaporasi untuk kemudian menjadi presipitasi kembali dan mengikuti daur hidrologi selanjutnya.

PENGUKURAN DAN PENDUGAAN DATA HIDROLOGI
Tahap awal dalam kajian hidrologi adalah bagaimana cara mengukur dan menduga data hidrologi. Data hidrologi dapat diperoleh dengan dua cara yaitu langsung dan tidak langsung, data pertama antara lain infiltrasi, tinggi muka sungai dan kedalaman muka airtanah ; sedangkan data kedua antara lain debit air, ataupun hidrograf aliran. Debit air permukaan pada suatu outlet diperoleh dari hasil perkalian antara kecepatan aliran air terhadap luas penampang basahnya. Hidrograf aliran diturunkan dari data tinggi muka air per satuan waktu terhadap kurva/lengkung kalibrasi.

Data hidrologi umumnya diukur pada suatu lokasi (posisi lintang, bujur) dan batas tertentu. Batas atau boundary yang sering digunakan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun, untuk kajian lebih detil batas hamparan lahan (misal: dataran aluvial di Pantai Utara Jawa) juga sering digunakan.

1. Morfometri DAS
Morfometri adalah nilai kuantitatif dari parameter-parameter yang terkandung pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Parameter morfometri DAS diantaranya adalah batas dan luas DAS, panjang sungai utama, orde sungai, dan tingkat kerapatan drainase.

Batas DAS yang tergambar pada suatu peta jaringan sungai adalah batas artificial atau batas buatan, karena pada kenyataannya batas tersebut tidak tampak di lapangan. Batas tersebut meskipun tidak tampak di lapangan tetapi pada kenyataannya, batas tersebut membatasi jumlah air hujan yang jatuh di atasnya. Batas DAS besar tersusun atas beberapa sub-DAS, dan sebuah sub-DAS kemungkinan tersusun oleh beberapa sub-sub-DAS dan untuk jelasnya lihat ilustrasi berikut (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Batas DAS hingga Sub-DAS (Strahler, 1975)

Banyak-sedikitnya jumlah air hujan yang diterima suatu DAS, bergantung atas luas atau tidaknya DAS tersebut serta tegas-tidaknya batas antar DAS. DAS yang memiliki luasan besar tentunya akan menghasilkan debit puncak yang lebih besar daripada DAS yang kecil. Prediksi debit puncak secara relatif dapat didekati selain dengan luas DAS adalah dengan bantuan bentuk DAS. Apabila diasumsikan intensitas hujan, luas dan topografi dua buah DAS adalah sama tapi bentuk DAS-nya berbeda (misal panjang dan bulat) maka karakteristik alirannya dapat diperbandingkan secara relatif. Bentuk DAS panjang akan memiliki waktu mencapai puncak yang lebih lama daripada bentuk DAS bulat; sedangkan debit DAS berbentuk bulat adalah lebih besar daripada bentuk DAS yang panjang. Ilustrasi berbagai bentuk DAS beserta debit puncak yang digambarkan dalam bentuk kurva hidrograf aliran dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Hidrograf Daerah Aliran Sungai dan Limpasan (Seyhan, 1990)

Orde sungai adalah nomor urut setiap segmen sungai terhadap sungai induknya. Metode penentuan orde sungai yang banyak digunakan adalah Strahler. Sungai orde 1 menurut Starhler adalah anak-anak sungai yang letaknya paling ujung dan dianggap sebagai sumber mata air pertama dari anak sungai tersebut. Segmen sungai sebagai hasil pertemuan dari orde yang setingkat adalah orde 2, dan segmen sungai sebagai hasil pertemuan dari dua orde sungai yang tidak setingkat adalah orde sungai yang lebih tinggi. Ilustrasi dari penggunaan metode Strahler tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Metode lain dalam penentuan orde sungai ini antara lain adalah metode Horton, Shreve, dan Scheideger.

Gambar 4. Penentuan Orde Sungai Dengan Metode Strahler (Strahler, 1975)

Panjang sungai utama sebagai morfometri ketiga dalam kajian ini akan menunjukkan besar atau kecilnya suatu DAS serta kemiringan sungai utama yang lebih-kurang identik dengan kemiringan DAS. Kemiringan sungai utama akan berpengaruh terhadap kecepatan aliran, maksudnya semakin tinggi kemiringan sungai utama maka semakin cepat aliran air di saluran untuk mencapai outlet atau waktu konsentrasinya semakin pendek.

Sungai utama beserta anak-anak sungainya membentuk pola aliran tertentu. Jumlah panjang seluruh alur sungai dibagi dengan luas DAS disebut kerapatan drainase. Menurut Linsley (1982 dalam Tikno, 1996) menyatakan bahwa kerapatan drainase atau drainage density mempunyai hubungan dengan tingkat penggenangan. Nilai kerapatan kurang dari 1 menunjukkan bahwa DAS tersebut sering tergenang atau drainasenya buruk, sedangkan kerapatan drainase 1 – 5 mengindikasikan bahwa DAS tersebut tidak pernah tergenang atau drainasenya baik.

2. Pengukuran Volume Aliran Sungai
Debit atau laju volume aliran sungai umumnya dinyatakan dalam satuan volum per satuan waktu, dan diukur pada suatu titik atau outlet yang terletak pada alur sungai yang akan diukur. Besar debit atau aliran sungai diperoleh dari hasil pengukuran kecepatan aliran yang melalui suatu luasan penampang basah. Metode pengukuran debit ini dikenal dengan istilah metode kecepatan-luas (velocity-area method). Bentuk persamaan ini dapat diekspresikan sebagai berikut:

Q = Av ............................................ 3.

di mana:
Q = laju volume aliran (cfs atau m3/detik)
A = luas penampang melintang alur sungai (f2 atau m2)adalah kecepatan rata-rata pada
v = penampang melintang alur sungai (ft/sec atau m/detik)

Kecepatan aliran tersebut dapat diukur secara manual ataupun dengan alat current meter. Pengukuran kecepatan aliran sungai dengan current meter umumnya harus memperhatikan karakteristik alur sungai terutama lebar dan dalamnya alur. Berdasarkan karakteristik alur tersebut maka ada 4 tipe pengukuran kecepatan aliran, yaitu tipe satu titik hingga lima titik untuk rincinya lihat Tabel 1.

Data debit sungai dengan menggunakan hasil pengukuran luas penampang basah dan kecepatan aliran umumnya telah direkap dan diformulasikan dalam suatu persamaan dan kurva tinggi muka air-debit aliran sungai atau lebih dikenal dengan istilah stage-discharge rating cuve yang senantiasa dikoreksi untuk setiap kurun waktu atau peristiwa tertentu. Berdasarkan persamaan atau kurva tersebut maka pengukuran di lapangan hanya mencakup tinggi muka air sungai tiap waktu (stage-hydrograph). Penggabungan dan analisis kedua kurva tersebut akan menghasilkan kurva hidrograf aliran (discharge hydrograph) yang sangat bermanfaat dalam analisis hidrologi lebih lanjut. Namun, umumnya data debit hasil pengukuran hanya terdapat pada DAS besar sehingga untuk analisis pada DAS kecil sering kali kesulitan. Untuk mengatasinya maka dikembangkan metode prediksi limpasan dan aliran sungai yang identik atau pengembangan lebih jauh dari analisis debit.


Tabel 1. Pengukuran Kecepatan Aliran Rata-rata pada Penampang Vertikal


3. Prediksi Volume Aliran Sungai
Apabila data debit sungai hasil pengukuran tidak ada maka metode tidak langsung perlu dikembangkan. Parameter hidrologi yang terkait dengan volume aliran sungai dan dapat diukur secara tidak langsung adalah total volume limpasan atau kuantitas luaran DAS dan laju debit maksimum. Debit maksimum adalah salah satu parameter penting yang sering digunakan dalam evaluasi rancang bangunan air dimana jumlah atau volume limpasan akan sangat menentukan ukuran serta kekuatan bangunan tersebut.

Estimasi Debit Puncak
Debit puncak pada suatu DAS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rasional. Persamaan ini pertama kali dikembangkan oleh Mulvaney (1847, dalam Schulz, 1976) di Irlandia. Mulvaney (1847) merekomendasikan bahwa persamaan ini sebaiknya digunakan untuk DAS kecil dengan ukuran kurang dari 100 acre atau 0.16 mil2. Apabila persamaan ini akan digunakan untuk DAS besar maka efek air yang tertahan pada depresi atau cekungan harus dipertimbangkan dan dimasukkan dalam persamaan tersebut. Persamaan rasional diekspresikan sebagai :

Qp = 0.278CiA ................................. 4.

di mana:
Qp= debit puncak (m3/detik)
C = koefisien limpasan (rasio tebal limpasan dan tebal curah hujan)
i = intensitas hujan (mm/jam) ketika lama hujan (tr) pada DAS tersebut sama dengan
waktu konsentrasinya (tc)
A = luas DAS ( km2)

Persamaan lain adalah yang dikembangkan oleh Burkli-Ziegler:

Q = CiA [S/A]^0.25 ....................................... 5.

di mana:
Q = debit puncak (cfs)
C = koefisien limpasan
I = intensitas hujan (inch/jam)
A = luas DAS
S = kemiringan permukaan tanah rata-rata

Waktu konsentrasi dapat didekati dengan menggunakan persamaan Kirpich, dan apabila persamaan ini diterapkan untuk DAS maka ekspr
esi dari persamaan tersebut adalah:

di mana L adalah panjang jarak dari tempat terjauh di DAS sampai outlet, diukur menurut jalannya air di sungai (feet) dan s adalah kemiringan rata-rata DAS (H:L)

Berdasarkan beberapa kajian persamaan rasional ini sering memberikan hasil yang over estimasi atau lebih besar daripada hasil pengukuran (Schulz, 1976). Namun, apabila dilihat dari sisi keamanan maka hasil perhitungan debit puncak adalah lebih aman, meskipun secara hidroekonomis hasil perhitungan ini kurang baik karena menimbulkan biaya tinggi.

4. Estimasi Volume Limpasan Permukaan
Jika tidak ada informasi kuantitatif tentang kuantitas dan waktu limpasan dan aliran sungai pada suatu DAS, maka volume limpasan dapat diestimasi dengan menggunakan karakteristik fisik DAS dan data hujan sebagai masukan. Metode estimasi itu disebut metode Bilangan Kurva (Curve Number) yang dikembangkan oleh SCS (the Soil Conservation Services). Pada metode ini, besarnya limpasan berbanding lurus dengan besarnya curah hujan dan hubungan tersebut diekspresikan sebagai berikut:



di mana:
Q = volume limpasan (dinyatakan dalam : mm)
P = curah hujan (mm)
S = beda potensial maksimum antara tebal curah hujan dan limpasan permukaan (mm), pada
saat awal hujan. Hal ini merepresentasikan kondisi penutup lahan/tanah hidrologis
dan mencerminkan kapasitas infiltrasi, lengas awal dan penutup lahannya

Dalam kajian lebih lanjut nilai S dapat didekati dengan konsep Bilangan Kurva (CN) . Konsep ini menganut pengertian adanya faktor urutan atau rating, yaitu sebagai akibat adanya pengaruh tanah dan kondisi penutup lahan terhadap besar-kecilnya limpasan. Kaitan Bilangan Kurva dengan nilai S dapat diekspresikan sebagai berikut:

SCS sebagai lembaga yang melahirkan konsep Bilangan Kurva telah mengembangkang hubungan antara Bilangan Kurva terhadap jenis penggunaan/penutup lahan beserta perlakuan konservasinya, kondisi hidrologi dan jenis tanahnya. Pengembangan tersebut diwujudkan dalam bentuk tabel. Dan, khusus untuk kajian ini jenis tanah dibagi jadi 4 kelompok besar. Masing-masing kelompok mendiskripsikan karakteristik tekstur tanahnya yang sekaligus mencerminkan sifat atau potensi limpasannya, serta laju infiltrasi akhir dari tanah tersebut.

Suatu hal yang penting bahwa estimasi limpasan ini berdasarkan suatu kejadian hujan dan bukannya hujan rata-rata bulanan ataupun tahunan. Berdasarkan hal tersebut maka besarnya limpasan yang disebabkan oleh suatu kejadian hujan sangat dipengaruhi oleh besarnya hujan 5 hari sebelumnya. Hal ini terkait dengan kondisi lengas tanah awal yang sangat berpengaruh terhadap besarnya suatu limpasan. Khusus untuk Indonesia maka kondisi 5 hari awal dikelompokkan jadi 3 AMC (Antecendent Moisture Condition):

Tabel 2. Nilai AMC untuk Wilayah Indonesia



Read More..

SRES Scenarios - Skenario Emisi Gas Rumah Kaca

Skenario emisi GRK
Masalah pokok dalam kajian pemanasan global adalah menduga berapa besarnya emisi gas rumah kaca pada masa yang akan datang. Kesulitan dalam menduga besarnya emisi GRK di masa yang akan datang adalah sama sulitnya dengan menduga besarnya emisi pada masa awal revolusi industri. Hal ini terkait dengan berbagai faktor yang mempengaruhi besar atau kecilnya jumlah GRK yang dilepas ke atmosfer. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain pertumbuhan penduduk, perkembangan kondisi sosial-ekonomi, dan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, dalam menduga besarnya emisi sampai tahun 2100, IPCC (2000) telah menyusun beberapa skenario emisi, yaitu A1, A2, B1 dan B2.

Ada empat skenario emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC dalam Laporan Khusus tentang Skenario Emisi atau disebut dengan Special Report on Emission Scenarios (SRES). Ke empat skenario emisi utama tersebut disusun dengan menggunakan beberapa pendekatan pemodelan sehingga menghasilkan beberapa perkiraan emisi untuk masukan data penentu emisi yang sama. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan oleh ke-empat skenario emisi utama tersebut adalah (IPCC, 2000 dalam Boer, et.al., 2003):
1. Skenario emisi grup A1 (SRESA1)
Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang pertumbuhan ekonomi berlangsung cepat, populasi global meningkat sampai pertengahan abad 21 dan kemudian menurun dan cepatnya introduksi teknologi baru yang lebih efisien. Selain itu juga diasumsikan bahwa kecendrungan tersebut bersifat homogen dan konvergen sehingga perbedaan pendapatan per kapita antar wilayah menurun dengan cepat. Skenario emisi grup A1 dibagi lagi ke dalam tiga kelompok. Ketiga sub-kelompok tersebut dibagi berdasarkan penekanan pada pemanfaatan teknologi yaitu yang menggunakan energi fosil secara intensive (A1F1), energi non-fosil secara intensive (A1B), dan energi fosil dan non-fosil secara berimbang (A1T).
2. Skenario emisi grup A2 (SRESA2)
Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang kondisi antar wilayah sangat beragam, dan kerjasama antar wilayah sangat lemah dan cendrung lebih bersifat individu sehingga penurunan tingkat perbedaan antar wilayah berjalan sangat lambat. Pembangunan ekonomi sangat berorientasi wilayah sehingga akan terjadi fragmentasi antar wilayah baik pertumbuhan pendapatan per kapita maupun perubahan teknologi
3. Skenario emisi grup B1 (SRESB1)
Skenario ini menggunakan asumsi sama seperti grup A1. Akan tetapi skenario ini juga mengasumsikan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi yang cepat melalui peningkatan pelayanan dan informasi ekonomi, dengan menurunnya intensitas penggunaan bahan, dan diperkenalkannya teknologi-teknologi yang bersih dan hemat penggunaan sumberdaya. Jadi skenario ini penekanannya pada penyelesaian masalah global berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk peningkatan tingkat kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiative khusus berkaitan dengan perubahan iklim.
4. Skenario emisi grup B2 (SRESB2)
Skenario ini menekankan pada upaya penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan secara lokal. Populasi global terus meningkat tetapi dengan laju sedikit lebih rendah dari skenario emisi grup A2, pembangunan ekonomi pada tingkat sedang, perubahan teknologi sedikit lebih lambat dari B1 dan A1. Skenario ini juga berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesamaan sosial yang difokuskan pada tingkat lokal dan regional.

·Suhu
IPCC (2001) telah menggunakan skenario emisi GRK untuk memproyeksikan perubahan suhu dari tahun 1990 hingga 2100. Gambar 1 dibangun dari 35 skenario SRES dan hasil seluruh model menunjukkan trend yang sama yaitu terjadinya peningkatan suhu antara 1,4 hingga 5,8oC pada tahun 2100.

Pada akhir abad 21 (2100), perubahan suhu tertinggi terjadi pada hasil model yang dibangun dengan skenario SRES A1F1 (4,5oC) sedangkan terendah pada hasil skenario B1 (2,0oC); sedangkan pada awal abad 21 (2020) perubahan suhu dari kedua scenario adalah sama yaitu 0,5oC. Tingginya perubahan suhu pada hasil model SRES A1F1 terkait dengan asumsi yang digunakannya yaitu antara lain populasi penduduk yang tinggi disertai dengan pemanfaatan energi fosil secara intensif. Dampak dari hal ini adalah meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer yang akan diikuti dengan naiknya suhu muka bumi. Namun, hasil model SRES B1 menunjukkan hal yang sebaliknya yaitu hanya 1,5oC lebih tinggi daripada saat awal abad 21. Dalam model SRES B1, asumsi yang digunakan adalah bersifat lebih ramah terhadap lingkungan seperti penggunaan teknologi bersih dan hemat.

Gambar 1. Proyeksi perubahan suhu permukaan global berdasarkan skenario emisi gas rumah kaca (IPCC, 2001)

Laporan IPCC (2007a) tetap menggunakan skenario SRES untuk memproyeksikan suhu muka bumi pada abad 21 ini. Dalam model tersebut, perubahan suhunya dilihat per dekade yaitu 2020-2029 (awal abad 21) dan 2090-2099 (akhir abad 21) dan dibandingkan secara relative terhadap suhu pada periode 1980-1999; sedangkan skenario SRES yang digunakan adalah B1, A1B dan A2. Hasil model pada skenario SRES B1 tetap menunjukkan perubahan suhu yang lebih rendah daripada hasil model skenario A2 (Gambar 2). Belahan bumi utara pada akhir abad 21 menunjukkan terjadinya peningkatan suhu yang lebih tinggi daripada belahan bumi selatan. Berdasarkan Gambar 2 diasumsikan bahwa hingga 100 tahun ke depan kawasan industri tetap berada di utara dan kawasan ini merupakan penyumbang GRK terbesar di bumi.

Gambar 2. Proyeksi perubahan suhu muka bumi pada awal dan akhir abad 21 relatif terhadap periode 1980-1999. Panel kanan dan kiri menunjukkan proyeksi rata-rata dari berbagai model GCM berdasarkan skenario SRES B1 (atas), A1B (tengah) and A2 (bawah).

·Presipitasi
Berdasarkan simulasi model global dan skenario SRES, konsentrasi uap air rata-rata global dan presipitasi menunjukkan terjadinya peningkatan selama abad 21. Proyeksi presipitasi global dengan menggunakan multi-model GCM dan skenario SRES A1B untuk kurun waktu 2090-2099 (akhir abad 21) dibandingkan secara relative terhadap hujan tahun 1980–1999. Dalam skenario SRES A1B diasumsikan bahwa penggunaan energi non-fosil akan dilakukan secara intensive, dan hasil modelnya adalah (lihat Gambar 3):
·Desember-Januari-Februari (DJF)
Pada daerah lintang rendah (sekitar ekuator), terjadi peningkatan presipitasi sebesar 10 hingga 20%. Kawasannya meliputi Amerika Selatan bagian utara, Afrika bagian tengah dan timur serta kawasan Asia bagian selatan dan tenggara. Penurunan presipitasi di atas 20% terjadi di Afrika bagian utara sedangkan penurunan presipitasi >10% meliputi kawasan Amerika Tengah dan Asia bagian selatan. Pada daerah lintang tinggi terutama yang terletak di belahan bumi utara (Eropa dan Amerika Utara) akan mengalami peningkatan hujan di atas 20%.
·Juni-Juli-Agustus (JJA)
Pada daerah lintang rendah (sekitar ekuator), terjadi dua keadaan yang berbeda dan melingkupi kawasan yang luas, yaitu terjadi peningkatan hujan 5 hingga 10% meliputi kawasan Asia bagian selatan dan tenggara; sedangkan Amerika Selatan bagian utara dan Afrika bagian tengah akan mengalami penurunan hujan sekitar 5%. Penurunan presipitasi di atas 20% tetap terjadi di Afrika bagian utara dan selatan serta Eropa bagian selatan sedangkan penurunan presipitasi >10% meliputi kawasan Amerika Tengah. Pada daerah lintang tinggi terutama yang terletak di belahan bumi utara (Eropa dan Amerika Utara) akan mengalami peningkatan hujan di atas 5 hingga 10%; sedangkan kawasan lintang tinggi di belahan bumi selatan akan cenderung mengalami peningkatan hujan lebih dari 20%.

Gambar 3. Proyeksi perubahan presipitasi (dalam persen) pada periode 2090–2099,
relative terhadap hujan 1980-1999 (IPCC, 2007).

Read More..