Masalah pokok dalam kajian pemanasan global adalah menduga berapa besarnya emisi gas rumah kaca pada masa yang akan datang. Kesulitan dalam menduga besarnya emisi GRK di masa yang akan datang adalah sama sulitnya dengan menduga besarnya emisi pada masa awal revolusi industri. Hal ini terkait dengan berbagai faktor yang mempengaruhi besar atau kecilnya jumlah GRK yang dilepas ke atmosfer. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain pertumbuhan penduduk, perkembangan kondisi sosial-ekonomi, dan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, dalam menduga besarnya emisi sampai tahun 2100, IPCC (2000) telah menyusun beberapa skenario emisi, yaitu A1, A2, B1 dan B2.
Ada empat skenario emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC dalam Laporan Khusus tentang Skenario Emisi atau disebut dengan Special Report on Emission Scenarios (SRES). Ke empat skenario emisi utama tersebut disusun dengan menggunakan beberapa pendekatan pemodelan sehingga menghasilkan beberapa perkiraan emisi untuk masukan data penentu emisi yang sama. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan oleh ke-empat skenario emisi utama tersebut adalah (IPCC, 2000 dalam Boer, et.al., 2003):
1. Skenario emisi grup A1 (SRESA1)
Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang pertumbuhan ekonomi berlangsung cepat, populasi global meningkat sampai pertengahan abad 21 dan kemudian menurun dan cepatnya introduksi teknologi baru yang lebih efisien. Selain itu juga diasumsikan bahwa kecendrungan tersebut bersifat homogen dan konvergen sehingga perbedaan pendapatan per kapita antar wilayah menurun dengan cepat. Skenario emisi grup A1 dibagi lagi ke dalam tiga kelompok. Ketiga sub-kelompok tersebut dibagi berdasarkan penekanan pada pemanfaatan teknologi yaitu yang menggunakan energi fosil secara intensive (A1F1), energi non-fosil secara intensive (A1B), dan energi fosil dan non-fosil secara berimbang (A1T).
2. Skenario emisi grup A2 (SRESA2)
Skenario ini menggunakan asumsi bahwa pada masa datang kondisi antar wilayah sangat beragam, dan kerjasama antar wilayah sangat lemah dan cendrung lebih bersifat individu sehingga penurunan tingkat perbedaan antar wilayah berjalan sangat lambat. Pembangunan ekonomi sangat berorientasi wilayah sehingga akan terjadi fragmentasi antar wilayah baik pertumbuhan pendapatan per kapita maupun perubahan teknologi
3. Skenario emisi grup B1 (SRESB1)
Skenario ini menggunakan asumsi sama seperti grup A1. Akan tetapi skenario ini juga mengasumsikan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi yang cepat melalui peningkatan pelayanan dan informasi ekonomi, dengan menurunnya intensitas penggunaan bahan, dan diperkenalkannya teknologi-teknologi yang bersih dan hemat penggunaan sumberdaya. Jadi skenario ini penekanannya pada penyelesaian masalah global berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk peningkatan tingkat kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiative khusus berkaitan dengan perubahan iklim.
4. Skenario emisi grup B2 (SRESB2)
Skenario ini menekankan pada upaya penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan secara lokal. Populasi global terus meningkat tetapi dengan laju sedikit lebih rendah dari skenario emisi grup A2, pembangunan ekonomi pada tingkat sedang, perubahan teknologi sedikit lebih lambat dari B1 dan A1. Skenario ini juga berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesamaan sosial yang difokuskan pada tingkat lokal dan regional.
·Suhu
IPCC (2001) telah menggunakan skenario emisi GRK untuk memproyeksikan perubahan suhu dari tahun 1990 hingga 2100. Gambar 1 dibangun dari 35 skenario SRES dan hasil seluruh model menunjukkan trend yang sama yaitu terjadinya peningkatan suhu antara 1,4 hingga 5,8oC pada tahun 2100.
Pada akhir abad 21 (2100), perubahan suhu tertinggi terjadi pada hasil model yang dibangun dengan skenario SRES A1F1 (4,5oC) sedangkan terendah pada hasil skenario B1 (2,0oC); sedangkan pada awal abad 21 (2020) perubahan suhu dari kedua scenario adalah sama yaitu 0,5oC. Tingginya perubahan suhu pada hasil model SRES A1F1 terkait dengan asumsi yang digunakannya yaitu antara lain populasi penduduk yang tinggi disertai dengan pemanfaatan energi fosil secara intensif. Dampak dari hal ini adalah meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer yang akan diikuti dengan naiknya suhu muka bumi. Namun, hasil model SRES B1 menunjukkan hal yang sebaliknya yaitu hanya 1,5oC lebih tinggi daripada saat awal abad 21. Dalam model SRES B1, asumsi yang digunakan adalah bersifat lebih ramah terhadap lingkungan seperti penggunaan teknologi bersih dan hemat.
Gambar 1. Proyeksi perubahan suhu permukaan global berdasarkan skenario emisi gas rumah kaca (IPCC, 2001)
Laporan IPCC (2007a) tetap menggunakan skenario SRES untuk memproyeksikan suhu muka bumi pada abad 21 ini. Dalam model tersebut, perubahan suhunya dilihat per dekade yaitu 2020-2029 (awal abad 21) dan 2090-2099 (akhir abad 21) dan dibandingkan secara relative terhadap suhu pada periode 1980-1999; sedangkan skenario SRES yang digunakan adalah B1, A1B dan A2. Hasil model pada skenario SRES B1 tetap menunjukkan perubahan suhu yang lebih rendah daripada hasil model skenario A2 (Gambar 2). Belahan bumi utara pada akhir abad 21 menunjukkan terjadinya peningkatan suhu yang lebih tinggi daripada belahan bumi selatan. Berdasarkan Gambar 2 diasumsikan bahwa hingga 100 tahun ke depan kawasan industri tetap berada di utara dan kawasan ini merupakan penyumbang GRK terbesar di bumi.
Gambar 2. Proyeksi perubahan suhu muka bumi pada awal dan akhir abad 21 relatif terhadap periode 1980-1999. Panel kanan dan kiri menunjukkan proyeksi rata-rata dari berbagai model GCM berdasarkan skenario SRES B1 (atas), A1B (tengah) and A2 (bawah).
·Presipitasi
Berdasarkan simulasi model global dan skenario SRES, konsentrasi uap air rata-rata global dan presipitasi menunjukkan terjadinya peningkatan selama abad 21. Proyeksi presipitasi global dengan menggunakan multi-model GCM dan skenario SRES A1B untuk kurun waktu 2090-2099 (akhir abad 21) dibandingkan secara relative terhadap hujan tahun 1980–1999. Dalam skenario SRES A1B diasumsikan bahwa penggunaan energi non-fosil akan dilakukan secara intensive, dan hasil modelnya adalah (lihat Gambar 3):
·Desember-Januari-Februari (DJF)
Pada daerah lintang rendah (sekitar ekuator), terjadi peningkatan presipitasi sebesar 10 hingga 20%. Kawasannya meliputi Amerika Selatan bagian utara, Afrika bagian tengah dan timur serta kawasan Asia bagian selatan dan tenggara. Penurunan presipitasi di atas 20% terjadi di Afrika bagian utara sedangkan penurunan presipitasi >10% meliputi kawasan Amerika Tengah dan Asia bagian selatan. Pada daerah lintang tinggi terutama yang terletak di belahan bumi utara (Eropa dan Amerika Utara) akan mengalami peningkatan hujan di atas 20%.
·Juni-Juli-Agustus (JJA)
Pada daerah lintang rendah (sekitar ekuator), terjadi dua keadaan yang berbeda dan melingkupi kawasan yang luas, yaitu terjadi peningkatan hujan 5 hingga 10% meliputi kawasan Asia bagian selatan dan tenggara; sedangkan Amerika Selatan bagian utara dan Afrika bagian tengah akan mengalami penurunan hujan sekitar 5%. Penurunan presipitasi di atas 20% tetap terjadi di Afrika bagian utara dan selatan serta Eropa bagian selatan sedangkan penurunan presipitasi >10% meliputi kawasan Amerika Tengah. Pada daerah lintang tinggi terutama yang terletak di belahan bumi utara (Eropa dan Amerika Utara) akan mengalami peningkatan hujan di atas 5 hingga 10%; sedangkan kawasan lintang tinggi di belahan bumi selatan akan cenderung mengalami peningkatan hujan lebih dari 20%.
Gambar 3. Proyeksi perubahan presipitasi (dalam persen) pada periode 2090–2099,
relative terhadap hujan 1980-1999 (IPCC, 2007).
relative terhadap hujan 1980-1999 (IPCC, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar