SIKLUS DAN PROSES HIDROLOGI
Kajian Siklus Hidrologi sangat bermanfaat dalam memahami konsep keseimbangan air dalam skala global hingga daerah aliran sungai (DAS) atau bahkan dalam skala lahan. Dalam sub bagian ini akan dijelaskan definisi dan ilustrasi dari siklus hidrologi, kemudian akan dilanjutkan hingga pembahasan proses yang terjadi selama siklus tersebut berlangsung. Tujuan dari kajian ini adalah memberikan pemahaman kualitatif dari proses hidrologi fisis yang terjadi pada sistem global hingga terutama DAS. Metode kuantitatif dan teknik matematik yang terkait dengan pengumpulan, penggunaan data yang benar dan interpretasi data klimatologi dan hidrologi akan dijelaskan lebih jauh pada sub bagian selanjutnya.
1. Siklus Hidrologi
Siklus Hidrologi adalah konsep dasar dalam kajian hidrologi dan merupakan konsep keseimbangan atau neraca air. Konsep ini mengenal empat fase perubahan zat cair, yaitu penguapan, pencairan, pembekuan, dan penyubliman atau dalam istilah hidrologi mencakup evaporasi dan transpirasi, presipitasi, salju, dan lelehan salju atau kristal es. Tenaga yang digunakan untuk berubah dari fase cair ke gas (evaporasi) dan menggerakkannya ke atmosfer adalah energi radiasi surya. Proses berikutnya adalah pendinginan, kondensasi dan presipitasi; selanjutnya akan diikuti oleh infiltrasi, limpasan permukaan, perkolasi dan kembali ke laut atau badan air yang lain. Proses sirkulasi dan perubahan fase zat cair tersebut dikenal sebagai Siklus Hidrologi (lihat Gambar 1).
Menurut Wiersum (1979, dalam Lieshout, tanpa tahun) selama siklus atau sub siklus hidrologi maka air akan mempengaruhi kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia ataupun biologi. Efek fisik akan terlihat selama proses gerakan air sehingga menimbulkan erosi pada bagian hulu dan sedimentasi pada bagian hilir. Efek kimia terlihat setelah proses kimiawi antara air yang mengandung bahan larutan tertentu dengan kimia batuan sehingga batuan tersebut terlapukkan, sedangkan efek biologi terutama sebagai media transport bagi perpindahan binatang karang serta media bagi pertumbuhan tanaman.
Analisis kuantitatif dari konsep siklus hidrologi dapat didekati dengan dua cara yang berbeda, yaitu sederhana dan komplek. Pendekatan sederhana berlandaskan pada persamaan kontinuitas dalam bentuk neraca air atau hidrologi (lihat Persamaan 1)
dimana:
P = presipitasi total
Q = total limpasan dan aliran sungai termasuk aliran air bumi
ET = total evaporasi dan transpirasi
L = bocoran (leakage) air yang keluar dari system atau bocoran air yang masuk ke dalam sistem
S = perubahan cadangan air dalam sistem dan dipertimbangkan setiap periode waktu tertentu
Metode untuk mengukur dan mengestimasi unsur-unsur yang terdapat dalam Persamaan 1 dan 2. akan dibincangkan lebih jauh dalam kajian atau analisis neraca air secara khusus, yaitu neraca air lahan, daerah aliran sungai dan global.
2. PROSES HIDROLOGI
Kajian proses hidrologi mencakup pembahasan sederetan unsur-unsur yang terdapat dalam siklus hidrologi. Secara garis besar dalam kajian ini proses hidrologi akan dipilah jadi dua, yaitu ketika masih ada di atmosfer dan setelah ada di daratan. Kajian pertama dimasukan dalam kajian air di atmosfer dan yang terangkum di dalamnya adalah evaporasi, transpirasi, kondensasi dan presipitasi; sedangkan kajian kedua adalah kajian air di atas dan bawah muka bumi yaitu meliputi intersepsi, infiltrasi, perkolasi, airbumi dan limpasan permukaan.
Kajian air di atmosfer dapat dilihat pada materi klimatologi sedangkan pada tulisan ini titik berat pembahasan pada air yang ada di atas dan bawah muka bumi. Air dari presipitasi yang jatuh di muka bumi dapat dipilah jadi 2 kelompok berdasarkan lokasi jatuhnya, yaitu vegetasi dan atau lahan terbangun (building area) serta tanah permukaan. Air presipitasi yang tertangkap/terintersepsi oleh vegetasi, sebagian akan menguap dan sebagian lain akan jatuh ke tanah permukaan melalui proses drip, stem flow, dan through fall. Air dari tetesan tajuk daun ataupun aliran batang tersebut akan masuk ke tanah permukaan (top soil) melalui proses infiltrasi bersama dengan air presipitasi yang jatuh langsung ke permukaan tanah. Tahap lanjutan setelah proses infiltrasi adalah perkolasi yaitu mengisi lapisan tanah jenuh (saturation zone) dan menambah cadangan airbumi (groundwater). Air hasil proses infiltrasi dan perkolasi akan bergerak menuju ke daerah yang tekanan hidroliknya rendah dan keluar sebagai mata-air di sungai, danau ataupun laut.
Apabila intensitas presipitasi tinggi sedangkan kapasitas maksimum infiltrasi telah terlampaui maka tahap selanjutnya adalah terbentuknya tegangan tipis dari air presipitasi di permukaan tanah (surface detention). Tegangan ini akan semakin menebal untuk kemudian mengalir secara laminar hingga turbulen di atas permukaan tanah yaitu menuju ke daerah yang topografinya lebih rendah. Gerakan air di atas permukaan tanah tersebut dikenal sebagai overland flow atau surface runoff. Air dari limpasan permukaan (surface runoff) akan bergerak atau mengalir menuju sungai (channel flow), kemudian dilanjutkan menuju laut. Air yang terdapat di badan air (sungai, danau ataupun laut), tanah dan vegetasi akan mengalami proses evaporasi untuk kemudian menjadi presipitasi kembali dan mengikuti daur hidrologi selanjutnya.
Tahap awal dalam kajian hidrologi adalah bagaimana cara mengukur dan menduga data hidrologi. Data hidrologi dapat diperoleh dengan dua cara yaitu langsung dan tidak langsung, data pertama antara lain infiltrasi, tinggi muka sungai dan kedalaman muka airtanah ; sedangkan data kedua antara lain debit air, ataupun hidrograf aliran. Debit air permukaan pada suatu outlet diperoleh dari hasil perkalian antara kecepatan aliran air terhadap luas penampang basahnya. Hidrograf aliran diturunkan dari data tinggi muka air per satuan waktu terhadap kurva/lengkung kalibrasi.
Data hidrologi umumnya diukur pada suatu lokasi (posisi lintang, bujur) dan batas tertentu. Batas atau boundary yang sering digunakan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun, untuk kajian lebih detil batas hamparan lahan (misal: dataran aluvial di Pantai Utara Jawa) juga sering digunakan.
Batas DAS yang tergambar pada suatu peta jaringan sungai adalah batas artificial atau batas buatan, karena pada kenyataannya batas tersebut tidak tampak di lapangan. Batas tersebut meskipun tidak tampak di lapangan tetapi pada kenyataannya, batas tersebut membatasi jumlah air hujan yang jatuh di atasnya. Batas DAS besar tersusun atas beberapa sub-DAS, dan sebuah sub-DAS kemungkinan tersusun oleh beberapa sub-sub-DAS dan untuk jelasnya lihat ilustrasi berikut (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Batas DAS hingga Sub-DAS (Strahler, 1975)
Gambar 3. Bentuk Hidrograf Daerah Aliran Sungai dan Limpasan (Seyhan, 1990)
Gambar 4. Penentuan Orde Sungai Dengan Metode Strahler (Strahler, 1975)
Sungai utama beserta anak-anak sungainya membentuk pola aliran tertentu. Jumlah panjang seluruh alur sungai dibagi dengan luas DAS disebut kerapatan drainase. Menurut Linsley (1982 dalam Tikno, 1996) menyatakan bahwa kerapatan drainase atau drainage density mempunyai hubungan dengan tingkat penggenangan. Nilai kerapatan kurang dari 1 menunjukkan bahwa DAS tersebut sering tergenang atau drainasenya buruk, sedangkan kerapatan drainase 1 – 5 mengindikasikan bahwa DAS tersebut tidak pernah tergenang atau drainasenya baik.
2. Pengukuran Volume Aliran Sungai
Debit atau laju volume aliran sungai umumnya dinyatakan dalam satuan volum per satuan waktu, dan diukur pada suatu titik atau outlet yang terletak pada alur sungai yang akan diukur. Besar debit atau aliran sungai diperoleh dari hasil pengukuran kecepatan aliran yang melalui suatu luasan penampang basah. Metode pengukuran debit ini dikenal dengan istilah metode kecepatan-luas (velocity-area method). Bentuk persamaan ini dapat diekspresikan sebagai berikut:
Q = Av ............................................ 3.
di mana:
Q = laju volume aliran (cfs atau m3/detik)
A = luas penampang melintang alur sungai (f2 atau m2)adalah kecepatan rata-rata pada
v = penampang melintang alur sungai (ft/sec atau m/detik)
Kecepatan aliran tersebut dapat diukur secara manual ataupun dengan alat current meter. Pengukuran kecepatan aliran sungai dengan current meter umumnya harus memperhatikan karakteristik alur sungai terutama lebar dan dalamnya alur. Berdasarkan karakteristik alur tersebut maka ada 4 tipe pengukuran kecepatan aliran, yaitu tipe satu titik hingga lima titik untuk rincinya lihat Tabel 1.
Data debit sungai dengan menggunakan hasil pengukuran luas penampang basah dan kecepatan aliran umumnya telah direkap dan diformulasikan dalam suatu persamaan dan kurva tinggi muka air-debit aliran sungai atau lebih dikenal dengan istilah stage-discharge rating cuve yang senantiasa dikoreksi untuk setiap kurun waktu atau peristiwa tertentu. Berdasarkan persamaan atau kurva tersebut maka pengukuran di lapangan hanya mencakup tinggi muka air sungai tiap waktu (stage-hydrograph). Penggabungan dan analisis kedua kurva tersebut akan menghasilkan kurva hidrograf aliran (discharge hydrograph) yang sangat bermanfaat dalam analisis hidrologi lebih lanjut. Namun, umumnya data debit hasil pengukuran hanya terdapat pada DAS besar sehingga untuk analisis pada DAS kecil sering kali kesulitan. Untuk mengatasinya maka dikembangkan metode prediksi limpasan dan aliran sungai yang identik atau pengembangan lebih jauh dari analisis debit.
Tabel 1. Pengukuran Kecepatan Aliran Rata-rata pada Penampang Vertikal
3. Prediksi Volume Aliran Sungai
Apabila data debit sungai hasil pengukuran tidak ada maka metode tidak langsung perlu dikembangkan. Parameter hidrologi yang terkait dengan volume aliran sungai dan dapat diukur secara tidak langsung adalah total volume limpasan atau kuantitas luaran DAS dan laju debit maksimum. Debit maksimum adalah salah satu parameter penting yang sering digunakan dalam evaluasi rancang bangunan air dimana jumlah atau volume limpasan akan sangat menentukan ukuran serta kekuatan bangunan tersebut.
Estimasi Debit Puncak
Debit puncak pada suatu DAS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rasional. Persamaan ini pertama kali dikembangkan oleh Mulvaney (1847, dalam Schulz, 1976) di Irlandia. Mulvaney (1847) merekomendasikan bahwa persamaan ini sebaiknya digunakan untuk DAS kecil dengan ukuran kurang dari 100 acre atau 0.16 mil2. Apabila persamaan ini akan digunakan untuk DAS besar maka efek air yang tertahan pada depresi atau cekungan harus dipertimbangkan dan dimasukkan dalam persamaan tersebut. Persamaan rasional diekspresikan sebagai :
Qp = 0.278CiA ................................. 4.
di mana:
Qp= debit puncak (m3/detik)
C = koefisien limpasan (rasio tebal limpasan dan tebal curah hujan)
i = intensitas hujan (mm/jam) ketika lama hujan (tr) pada DAS tersebut sama dengan
waktu konsentrasinya (tc)
A = luas DAS ( km2)
Persamaan lain adalah yang dikembangkan oleh Burkli-Ziegler:
Q = CiA [S/A]^0.25 ....................................... 5.
di mana:
Q = debit puncak (cfs)
C = koefisien limpasan
I = intensitas hujan (inch/jam)
A = luas DAS
S = kemiringan permukaan tanah rata-rata
Waktu konsentrasi dapat didekati dengan menggunakan persamaan Kirpich, dan apabila persamaan ini diterapkan untuk DAS maka ekspresi dari persamaan tersebut adalah:
di mana L adalah panjang jarak dari tempat terjauh di DAS sampai outlet, diukur menurut jalannya air di sungai (feet) dan s adalah kemiringan rata-rata DAS (H:L)
Berdasarkan beberapa kajian persamaan rasional ini sering memberikan hasil yang over estimasi atau lebih besar daripada hasil pengukuran (Schulz, 1976). Namun, apabila dilihat dari sisi keamanan maka hasil perhitungan debit puncak adalah lebih aman, meskipun secara hidroekonomis hasil perhitungan ini kurang baik karena menimbulkan biaya tinggi.
4. Estimasi Volume Limpasan Permukaan
Jika tidak ada informasi kuantitatif tentang kuantitas dan waktu limpasan dan aliran sungai pada suatu DAS, maka volume limpasan dapat diestimasi dengan menggunakan karakteristik fisik DAS dan data hujan sebagai masukan. Metode estimasi itu disebut metode Bilangan Kurva (Curve Number) yang dikembangkan oleh SCS (the Soil Conservation Services). Pada metode ini, besarnya limpasan berbanding lurus dengan besarnya curah hujan dan hubungan tersebut diekspresikan sebagai berikut:
di mana:
Q = volume limpasan (dinyatakan dalam : mm)
P = curah hujan (mm)
S = beda potensial maksimum antara tebal curah hujan dan limpasan permukaan (mm), pada
saat awal hujan. Hal ini merepresentasikan kondisi penutup lahan/tanah hidrologis
dan mencerminkan kapasitas infiltrasi, lengas awal dan penutup lahannya
Dalam kajian lebih lanjut nilai S dapat didekati dengan konsep Bilangan Kurva (CN) . Konsep ini menganut pengertian adanya faktor urutan atau rating, yaitu sebagai akibat adanya pengaruh tanah dan kondisi penutup lahan terhadap besar-kecilnya limpasan. Kaitan Bilangan Kurva dengan nilai S dapat diekspresikan sebagai berikut:
SCS sebagai lembaga yang melahirkan konsep Bilangan Kurva telah mengembangkang hubungan antara Bilangan Kurva terhadap jenis penggunaan/penutup lahan beserta perlakuan konservasinya, kondisi hidrologi dan jenis tanahnya. Pengembangan tersebut diwujudkan dalam bentuk tabel. Dan, khusus untuk kajian ini jenis tanah dibagi jadi 4 kelompok besar. Masing-masing kelompok mendiskripsikan karakteristik tekstur tanahnya yang sekaligus mencerminkan sifat atau potensi limpasannya, serta laju infiltrasi akhir dari tanah tersebut.
Suatu hal yang penting bahwa estimasi limpasan ini berdasarkan suatu kejadian hujan dan bukannya hujan rata-rata bulanan ataupun tahunan. Berdasarkan hal tersebut maka besarnya limpasan yang disebabkan oleh suatu kejadian hujan sangat dipengaruhi oleh besarnya hujan 5 hari sebelumnya. Hal ini terkait dengan kondisi lengas tanah awal yang sangat berpengaruh terhadap besarnya suatu limpasan. Khusus untuk Indonesia maka kondisi 5 hari awal dikelompokkan jadi 3 AMC (Antecendent Moisture Condition):
Tabel 2. Nilai AMC untuk Wilayah Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar